Rasa Lelah

 

Jika dipikir-pikir, dengan situasi sekarang, dimana masih menjadi mahasiswa semester 1, dengan segala adaptasi yang terjadi, dengan segala tugas yang nampaknya tak henti-henti, dengan penatnya kuliah secara daring, memang rasanya lelah.

Mata rasanya sayu karena terlalu lama menatap layar.

Begitu juga dengan otak, rasanya jenuh, hari-hari dipenuhi keperluan akademis yang nampaknya tak kunjung henti, bahkan hanya untuk sekedar berteduh, mengambil jarak dari riuhnya hari.

Laptop? Semoga kau bertahan lama ya, aku tau aku sudah menggunakanmu melebihi batas wajarmu, apalagi dengan melepas bateraimu dan langsung menghubungkanmu dengan sumber listrik di kamarku. Agak berlebihan memang, aku tau. Namun tenang, hanya setengah semester lagi aku berlaku demikian padamu. Selebihnya, semoga semesta segera membaik, agar aku dan kamu bisa melaksanakan kegiatan seperti hari-hari sebelumnya.

Namun, terlepas dari semua hiruk pikuk yang aku rasa, terlepas dari semua lelah yang menurutku tanpa henti, tak kan adil rasanya jika tak menyebutkan satu lagi, bahkan bisa dibilang yang terpenting dari semua yang telah disebutkan, yaitu

Orang tua.

Ya, Ayah dan Ibu.

Yang senang sekali mendengar kabar bahwa anaknya berkesempatan kuliah di kampus kerakyatan saat pengumuman dulu,

yang langsung memikirkan mengenai berbagai macam sumber pemasukan yang harus diperoleh, untuk memenuhi segala apa yang aku butuhkan untuk menunjang perkuliahan,

juga yang setiap hari tanpa kenal lelah bangun pagi, baik untuk memasakkan sarapan atau bersiap untuk pergi ke tempat kerja, demi memastikan bahwa anaknya tercukupi, baik dari hal nutrisi maupun materi.

Tak pantas rasanya aku mengeluh, mengenai lelah ini lelah itu, ketika mereka saja, yang setiap hari harus bangun pagi lagi untuk kembali melakukan hal yang sama persis seperti yang mereka lakukan di hari sebelumnya, tak pernah jenuh, apalagi lelah.

Setidaknya itu lah yang aku lihat.

Aku tau, bahwa dibalik senyum hangat dan candaan ringan yang setiap hari mereka lontarkan, dibalik kata, "Gapapa asal kamu bisa belajar," yang mereka katakan setiap kali aku bertanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan materi, ada beribu-ribu rasa lelah yang mereka sembunyikan. Ada berbagai macam kepenatan, kejenuhan, bahkan tekanan yang sengaja mereka simpan sendirian, agar anak-anaknya tak perlu ikut merasakan, sehingga bisa fokus, tak terganggu, dalam pembelajaran.

Jujur, aku belum sekuat dirimu.

Bahuku masih terlalu sempit dan rapuh untuk memikul apa yang dunia tawarkan. Padahal, ini belum apa-apa dibanding dengan apa yang kau hadapi setiap hari.

Ayah, Ibu, ajarkan aku agar bisa sekuat dirimu.

 

Comments

Popular posts from this blog

Post - Hiatus

Tahun Kembar